BeritaDaerahNasionalNTTPolitik

Dari Timur Indonesia Menuju Lembah Jatinangor,Bupati Dan Wabup Belu Meniti Jalan Pemimpin Bangsa

41
×

Dari Timur Indonesia Menuju Lembah Jatinangor,Bupati Dan Wabup Belu Meniti Jalan Pemimpin Bangsa

Sebarkan artikel ini
Oplus_131072

Willybrodus Lay, SH. Bersama Wakil Bupati Vicente Hornai Gonsalves, ST, Mengikuti Ret Ret di Jatinangor 

Jatinangor, faktantt .Com – Angin di Lembah Jatinangor berembus pelan, membawa serta langkah-langkah tegap dari para kepala daerah yang datang dari pelosok negeri. Ada 86 di antara mereka yang pagi itu memasuki gerbang Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), mengenakan seragam loreng—bukan untuk berperang, melainkan untuk menyatukan niat, menyusun kembali arah, dan merenungi tanggung jawab yang tak ringan: menjadi pemimpin bagi jutaan jiwa.

Dari Timur jauh Indonesia, dari tanah yang berbatasan langsung dengan negara Timor Leste, hadir sosok tenang dan bersahaja: Bupati Belu, Willybrodus Lay, SH. Bersama Wakil Bupati Vicente Hornai Gonsalves, ST, ia menempuh ribuan kilometer bukan hanya secara geografis, tapi juga secara batin—dari hiruk pikuk urusan daerah ke ruang hening yang mengajak untuk berpikir dan merasa lebih dalam.

“Saya secara khusus mau menyampaikan terima kasih kepada Mendagri, karena dengan retret ini kami, kepala daerah seluruh Indonesia, dipertemukan di tempat ini,” ucapnya dalam sebuah wawancara dengan TV One.

Baca Juga:  Wujudkan Desa Sehat: Pemerintah Desa Faturika Lakukan Verifikasi Sanitasi Rumah Tangga

Kalimat itu sederhana, tapi menyimpan gema: bahwa pertemuan ini bukan sekadar agenda birokrasi, melainkan perjumpaan hati para pemimpin yang kadang terlalu sibuk memerintah, sampai lupa untuk saling mendengarkan.

Retret ini berlangsung lima hari. Tapi waktu seakan meluas di dalamnya. Para kepala daerah akan menjalani sesi-sesi pembelajaran, dialog, refleksi spiritual, hingga kegiatan fisik yang bukan hanya melatih tubuh, tapi juga menumbuhkan kembali kesadaran kolektif: bahwa memimpin bukan soal memegang kuasa, tapi soal menjaga kepercayaan.

Sebelumnya, dari Kantor Pusat Kementerian Dalam Negeri di Jakarta, mereka bertolak menuju Jatinangor menggunakan kereta cepat KCIC Whoosh. Perjalanan itu sendiri adalah simbol: bahwa negeri ini sedang bergerak maju, dan para pemimpinnya harus sanggup mengikuti laju zaman tanpa kehilangan arah moralnya. Dari Stasiun Tegalluar, bus-bus kecil membawa mereka naik ke kampus yang sunyi tapi bersejarah.

Di halaman kampus, marching band menyambut kedatangan mereka. Barisan lurus dan tertib terbentuk, seolah ingin mengatakan bahwa Indonesia ini bisa rapi dan seimbang bila pemimpinnya berjalan dalam irama yang sama. Malam harinya, jamuan makan malam digelar bukan untuk menunjukkan kemewahan, melainkan menyatukan percakapan. Tak ada podium, tak ada panggung. Hanya meja-meja panjang, tempat cerita dan tawa bisa bersilang tanpa hierarki.

Baca Juga:  Lepas 146 Siswa, Bunda PAUD Belu Tekankan Pentingnya Pondasi Pendidikan yang Kuat

Dari Istana Presiden, pesan disampaikan langsung: pembangunan dari pusat ke daerah harus dibangun di atas dasar sinergi. Kata itu—sinergi—telah lama terdengar, tapi tak selalu terasa. Di sinilah para kepala daerah diajak untuk tak sekadar memahami kebijakan, tetapi menyelaminya, membawanya pulang dengan semangat baru. Karena pembangunan yang sejati bukan dibawa dari atas, melainkan tumbuh dari bawah, dari desa, dari dusun, dari suara rakyat yang jarang terdengar.

Bagi Bupati Belu, retret ini adalah jeda yang berarti. Belu, sebagai wilayah perbatasan, tahu benar apa artinya menjadi penjaga depan republik. Di sana, batas negara bukan garis pada peta, melainkan garis hidup—tempat nasionalisme diuji setiap hari. Maka ketika pemimpinnya hadir di Jatinangor, ia membawa serta harapan dari timur: bahwa suara daerah yang jauh bisa turut membentuk wajah Indonesia yang lebih utuh.

Baca Juga:  Rumah Anggota DPRD Belu Dibobol Maling saat Ditinggal, Uang dan Emas Ratusan Juta Digondol

Retret ini awalnya dirancang untuk diikuti oleh 93 kepala daerah. Namun 7 di antaranya berhalangan, menyisakan 86 pemimpin yang tetap berjalan bersama. Jumlah itu bukan soal statistik, melainkan gambaran bahwa Indonesia dibangun bukan oleh satu orang besar, tapi oleh banyak orang yang mau mendengar dan belajar.

Di Jatinangor, para kepala daerah tak sedang mencari jawaban instan. Mereka sedang menggali ulang niat awal: mengapa dulu mereka memilih jalan ini. Karena jalan pemimpin adalah jalan sunyi yang penuh keputusan sulit, dan tak semua mampu menempuhnya tanpa kehilangan arah.

Dari Tanah Belu ke Lembah Jatinangor, bukan hanya jarak yang dijalani. Tapi sebuah perjalanan batin yang membawa pemimpin kembali ke sumber keyakinannya: bahwa kekuasaan bukan untuk menguasai, tapi untuk melayani. Dan bahwa bangsa ini akan kuat jika tiap pemimpinnya punya ruang untuk berhenti sejenak, melihat ke dalam, dan melangkah lagi—dengan hati yang lebih jernih.

Editor : Haman Hendriques 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *