AgamaBeritaOpini

Ingat! Jangan Asal Memeluk dan Mencium, Jika Niatmu Menusuk

12
×

Ingat! Jangan Asal Memeluk dan Mencium, Jika Niatmu Menusuk

Sebarkan artikel ini

Oleh: Frids Wawo Lado

kupang,Faktantt.com- Yerusalem, ribuan tahun silam. Daun-daun palem melambai, kaki-kaki keledai melangkah pelan, dan sorak sorai umat menggema.

“Hosana! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan!”

Suasana meriah, penuh harap, seperti menyambut seorang pahlawan pulang kampung.

Kristus dielu-elukan bak raja. Tapi aneh, Raja ini tak naik kuda perang, melainkan keledai pinjaman.

Ia tak bersenjata, hanya bersenjatakan cinta.

Namun, seperti sinetron yang berbalik plot dalam hitungan menit, pekan itu berubah drastis.

Jangan Asal Memeluk dan Mencium,
Jika Niatmu Menusuk

Yudas, salah satu dari dua belas murid pilihan, memberi tanda: “Yang kucium, Dia-lah orangnya.”

Yang dielu-elukan, kini dicaci. Yang disambut penuh pujian, kini ditampar dan diludahi.

Dan yang paling menyayat?

Ia dikhianati bukan oleh musuh, bukan oleh orang asing, melainkan oleh seorang sahabat. Dan pengkhianatannya… ah, bukan dengan pedang, tapi dengan pelukan dan ciuman.

Yudas, salah satu dari dua belas murid pilihan, memberi tanda: “Yang kucium, Dia-lah orangnya.”

Dan dengan hangat (atau mungkin hambar), ia mendekat dan berkata, “Salam, Rabi!” lalu mendaratkan ciuman di pipi Sang Guru.

Baca Juga:  Belu Gempar: Temuan Ribuan Peserta BPJS Fiktif, Aktivis Minta Investigasi

Apa rasanya dikhianati oleh pelukan dan ciuman?

Kalau Kristus adalah manusia biasa, mungkin Ia akan berkata, “Bro, ini serius? Kamu cium saya hanya demi 30 keping perak? Memangnya saya murah?”

Tapi Kristus tak bereaksi seperti itu. Ia justru tetap tenang. Ia tahu: justru di situlah rencana keselamatan mulai berjalan.

Ia tahu pelukan dan ciuman itu menyakitkan, tapi juga menyelamatkan.

Ciuman biasanya melambangkan kasih. Tapi di malam itu, ia jadi simbol dari cinta palsu, penuh kehangatan yang menipu.

Yudas tak berteriak, tak menusuk dari belakang.

Ia memeluk dan mencium.

Sebuah pengkhianatan yang begitu halus, nyaris artistik dalam kelicikannya. Namun, bukankah justru di dunia hari ini, banyak yang masih seperti itu?

Kita tak perlu jadi Yudas dalam rupa jubah dan sandalnya. Kita bisa saja menjadi Yudas dalam bentuk modern: senyum palsu di kantor, di tempat kerja, di rumah, atau di manapun itu, pelukan hangat tapi menusuk dari belakang, atau ucapan “Saya doakan kamu,” yang lebih terdengar seperti mantra kutukan.

Baca Juga:  Misteri Hilangnya LKPJD BUMDes Naitimu: Dugaan KKN Mengancam Transparansi Dana Desa

Di sisi lain, Kristus tak membalas dengan ciuman kebencian. Ia tak memanggil bala tentara langit untuk mengutuk Yudas jadi tiang garam.

Ia justru tetap melangkah dalam kerendahan hati, menerima semuanya: hinaan, cambukan, mahkota duri, salib, bahkan maut. Ini bukan karena Ia lemah, tapi karena cinta-Nya terlalu kuat.

Cinta-Nya tidak murahan seperti 30 keping perak. Cinta-Nya tak mudah runtuh oleh pengkhianatan. Justru cinta-Nya menanggung semua itu. Dan akhirnya, Ia bangkit. Maut dikalahkan. Hidup yang baru diberikan.

Hari ini, kita perlu bertanya: pelukan dan ciuman kita ditujukan untuk siapa dan dengan niat apa?

Apakah kita memeluk dengan tulus, atau dengan niat tersembunyi? Apakah kita mencium demi kasih, atau demi keuntungan pribadi?

Kita hidup di zaman penuh “ciuman Yudas”: politik yang memeluk demi suara, teman yang dekat demi cuan, relasi yang dijalani demi pamrih. Tapi Kristus mengajarkan pelukan yang lain: pelukan pengampunan, ciuman penerimaan, dan cinta yang rela disalib demi yang lain.

Secara teologis, kita melihat pengkhianatan Yudas bukan semata tragedi, tapi bagian dari drama agung keselamatan.

Baca Juga:  Wakil Bupati Belu Resmi Buka Pertemuan Refleksi Program Pengendalian HIV dan AIDS

Artinya? Hidup memang seperti panggung, dan kita semua memerankan peran.

Kadang sebagai Petrus yang menyangkal, kadang sebagai Yudas yang mengkhianati. Tapi semoga, lebih sering sebagai murid yang bertobat dan bangkit bersama Kristus.

Ada cuplikan lelucon kecil yang saya ingat dari sebuah buku yang pernah saya baca (saya lupa judulnya) untuk mengakhiri:

Kalau kamu merasa dikhianati teman, jangan sedih.

Tuhan Yesus pun pernah dikhianati. Tapi lihat hasilnya?

Justru dari pengkhianatan itu, datang keselamatan. Jadi, tetaplah baik meski dikhianati.

Jangan balas ciuman palsu dengan tamparan.

Balaslah dengan senyum yang berkata, “Aku tahu, tapi aku tetap memilih mencintai.”

Minggu Palma bukan tentang daun-daun yang dilambai. Tapi tentang cinta yang tetap teguh meski dikhianati. Tentang Raja yang rela mati demi umat yang lupa diri. Dan tentang ciuman yang menyakitkan, namun tak mampu membunuh kasih yang sejati.

Selamat memasuki Pekan Suci. Peluklah hidup dengan jujur.
Cintailah sesama dengan tulus. Dan ingat: jangan asal mencium kalau niatmu menusuk. ***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *